Pernahkah kamu mendengar tentang perspektif ? lalu, pernahkah terpikirkan dalam benakmu tentang apa itu perspektif ? pada kesempatan kali ini saya akan sedikit membahas tentang apa itu persefektif dalam ilmu komunikasi. seperti dikutif dari buku ( Fisher, 1990:86 ) pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah perspektif yang dipakai untuk memahaminya
Secara sederhana Perspektif adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu. cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. misalnya, pengetahuan kita tentang rumah dari perspektif ekonomi berbeda dari perspektif artistik, sosial, dan sebagainya.
walaupun demikian, suatu perspektif atau cara pandang tidak berlaku secara semena-mena. rumah adalah rumah, tidak mungkin secara perspektif dianggap sebagai jeruk. jadi, perspektif pada satu sisi menyerap benda itu sekaligus makna dari pengetahuan tentang benda itu dalam kerangka epistemologis.
Perpektif yang kita gunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang kita deduksi. Perspektif selalu mendahului observasi kita. Kita bisa saja mengamati suatu peristiwa dengan pikiran yang terbuka dan netral, namun begitu kita harus mengobservasi hal, kita akan melakukannya dengan cara tertentu.
Contoh :
Pada gambar ilusi optis, dalam sekali lihat kita menemukan gambar seorang gadis dari belakang, dengan rahangnya yang putih, bulu matanya yang lentik, serta topi jambul bulu burung yang anggun. Namun bila kita mengamatinya dengan cara saksama, dan mencoba mengambil titik pijak dari titik tertentu (pada gambar itu dari apa yang kita anggap sebagai leher jenjang dengan kalung hitam melingkar "aneh segera kita akan menemukan kenyataan lain, gambar itu bukan gambar seorang gadis melainkan seorang nenek yang cukup menyeramkan.
Perspektif adalah cara memandang atau cara kita menentukan sudut pandang ketika mengamati sesuatu.
Nilai perspektif kita tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada. Semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas, walaupun setiap perspektif pada tahap tertentu kurang lengkap serta didistorsi.
Perspektif Teori pada Ilmu Komunikasi terdiri dari 3 perspektif yaitu :
1. Realisme
Realisme beranggapan bahwa benda-benda atau objek yang diamati sebagai apa adanya, telah berdiri di sana secara benar, tanpa campur tangan ide dari pengamat. Paham ini mengarahkan cara pandang yang menafikan peran subjek pengamat dalam penelitian. Konsekuensinya, nilai, kepercayaan, emosi, dan apapun yang dimiliki oleh diri subjek pengamat dilarang untuk terlibat ketika mengamati sesuatu. Dengan cara ini penelitian bisa menghasilkan pengetahuan yang objektif (kebenaran sebagaimana adanya). Suatu pengetahuan itu dianggap benar (memiliki kebenaran) bila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataan. Misalnya, pengetahuan seseorang bahwa "angsa itu putih" adalah benar bila dalam kenyataannya memang angsa itu putih dan tidak berwarna lain. Dengan kata lain, orang membuktikan pengetahuannya dengan membandingkannya dengan realitas ontologisnya. Seorang realis sosial akan melihat bahwa dunia alam dan dunia manusia terdiri atas struktur-struktur yang ada di sana" dan yang tidak bergantung pada persepsi individu.
2. Nominalis
Nomalis menganggap bahwa dunia sosial adalah eksternal pada persepsi individu, tersusun tidak lebih dari sekadar nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realitas." Jadi bagi seorang nominalis, tidak ada dunia "diluar sana" - hanya nama, label entitas yang dibuat oleh individu. Individu menjadi penentu ada atau tidaknya kenyataan. Seorang subjektivis, secara epistemologis, meyakini bahwa
dunia sosial pada dasarnya adalah relatif dan hanya bisa dipahami dari sudut pandang individu yang terlibat langsung dalam aktivitas yang dipelajari". Jadi, subjektivis menghindari anggapan suatu batas antara yang mengetahui dan yang diketahui dan dengannya metode ilmiah yan mencoba mendorong pemisahan. Subjektivis mendorong pertanyaan dari dalam” melalui penggunaan metode etnografi daripada penjelasan kausal dan hukum. Karena pengetahuan sudah tertentu dan relatif, epistemologi subjektif juga menolak konsep generalisasi pengetahuan dan penyatuan pengetahuan, lebih memilih pemahaman lokal yang muncul melalui penelitian.
3. Konstruksionis
Pengetahuan kita bukanlah realitas dalam arti umum. Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas "di sana" yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati. Dalam kerangka pemikiran ini, bila kita bertanya "apakah yang kita ketahui itu memang sungguh kenyataan vang ada?", kaum konstruktivis akan menjawab." Kami tidak tahu, itu bukan urusan kami."
Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana of tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan nadam kemampuan suatu komnmn
Kenyaladi uw pengamat dengan objek yang diamau. Daw kita bertanya "apakah yang kita ketahui itu memang sungguh kenya yang ada?", kaum konstruktivis akan menjawab, "Kami tidak tahu bukan urusan kami."
Lalu, bagaimana halnya dengan kebenaran? Bagaimana orang tahu bahwa pengetahuan yang kita konstruksikan itu benar? Bagi kaum konstruktivis, kebenaran diletakkan pada viabilitas, yaitu kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang kita konstruksikan itu dapat digunakan dalam menghadapi berbagai macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Misalnya, pengetahuan kita akan hukum gerak Newton dianggap benar, karena dengan hukum itu kita dapat memecahkan banyak persoalan tentang gerak. Dalam kaitan dengan ini, maka kita dapat menangkap bahwa pengetahuan kita ada taraf-tarafnya: dari yang cocok atau berlaku untuk banyak persoalan
sampai dengan yang hanya cocok untuk beberapa persoalan. Sekali lagi tampak bahwa pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi melainkan suatu proses yang terus berkembang.
Perspektif yang berkembang pada ilmu komunikasi sebenarnya sangat beragam, namun pada kesempatan kali ini perspektif itu akan dibatasi dan meliputi positivisme, post-positivisme, interpretif, konstruktivisme, dan teori kritis.
Komentar
Posting Komentar